Pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina membuat target Indonesia Emas pada 2045 membubung tinggi.
Ekonomi hijau sebagai satu dari enam rencana strategis transformasi ekonomi yang sudah dibuat tak hanya menjanjikan peluang-peluang, tapi juga tantangan yang diakui sangat berat.
Seperti diketahui, ketika berusia 100 tahun nanti, dengan proyeksi bonus demografi yang didapat saat itu, Indonesia menargetkan sudah akan menjadi negara maju dengan pendapatan domestik bruto terbesar ke lima di dunia.
Target Indonesia Emas dibuat dengan asumsi awal pertumbuhan ekonomi nasional dijaga lima persen per tahun.
“Tapi, setelah ada pandemi lalu krisis, perang, ternyata ga bisa …pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi lagi, butuh sekitar enam persen per tahun, dan tentunya ini tidak gampang,” kata Direktur Lingkungan Hidup di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Medrilzam.
Medrilzam mengungkap itu dalam dialog Think Climate Indonesia Forum yang diikuti online pada Kamis lalu, 25 Agustus 2022.
Seri kedua forum itu membahas pemutakhiran dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk mewujudkan ketahanan negara Indonesia terhadap dampak perubahan iklim.
Menurut Medrilzam, Indonesia harus membuat transformasi ekonomi secara struktural dan lompatan-lompatan besar daripada yang sudah dirancang sebelumnya.
Dia merujuk kepada enam rencana strategis yang sudah dibuat untuk target pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun.
Satu di antaranya adalah ekonomi hijau.
“Di Bappenas, NDC diterjemahkan dengan pembangunan rendah karbon dan pembangunan berketahanan iklim.
Keduanya menjadi backbone ekonomi hijau,” tuturnya.
Dia membeberkan target penurunan gas rumah kaca pada 2024 yang sebesar 27,3 persen dengan intensitas emisi per satuan ekonomi pada tahun yang sama diharapkan sudah ditekan sebesar 31,6 persen.
Lalu, net zero emission pada 2060 atau lebih cepat daripada itu.
“Target ini harus diakui very, very ambitious.
Butuh reforestasi besar-besaran.
Butuh perubahan besar dalam pembangunan kita,” katanya sambil menambahkan, “Tapi harus kita coba.
Harus ada kolaborasi semua kementerian dan lembaga, horizontal maupun vertikal, dan didukung stake holder di luar pemerintah.” Dalam kesempatan itu, Medrilzam juga mengungkap kalau Bappenas baru saja meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau sebagai sebuah alat ukur yang bisa digunakan untuk menentukan seberapa jauh keberhasilan pembangunan ekonomi hijau yang dilakukan.
Peluncuran alat ukur itu dilakukan dalam sebuah side event G20 di Bali pada awal bulan ini.
Dari indeks tersebut diklaim kalau tren performa ekonomi hijau Indonesia membaik.
Tapi itu hanya dari indikator ekonomi dan sosial.
Tren performa dari indikator lingkungan ditunjukkn Medrilzam masih ketinggalan dibandingkan keduanya.
“Ini adalah alat ukur pertama kita, first attempt, tapi dari sini saja sudah jelas there are alot of things to do untuk isu lingkungan,” kata dia.
Medrilzam merinci sejumlah tantangan mewujudkan ekonomi hijau, antara lain investasi dengan nilai yang sangat besar untuk pendanaan efektif kegiatan rendah karbon.
“Pernah kami menghitung, itu bisa sampai 3-5 persen PDB,” katanya.
Lalu langkah meninggalkan batu bara atau menutup seluruh PLTU yang dikenal sebagai pembangkit energi yang kotor juga menghadirkan tantangan transfer teknologi dan inovasi yang rendah karbon.
Selain juga ada risiko aset yang bakal terbengkelai lebih cepat (stranded asset) dari aset yang sudah terbangun–karena tak ramah perubahan iklim.
Dialog TCI Forum, Kamis, juga menghadirkan I Wayan Susi Dharmawan, peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dia menguatkan kebutuhan investasi yang sangat besar untuk tranformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau saat ini.
Hal itu, Wayan menjelaskan, karena sektor energi Indonesia masih bergantung kepada sumber karbon intensitas tinggi.
Lalu, pertumbuhan jumlah kendaraan sektor transportasi masih sangat tinggi, termasuk juga subsidi yang diberikan untuk konsumsi BBM-nya.
Tingginya pertumbuhan penduduk dan negara yang masih tergantung banyak kepada impor juga disebutnya sebagai penyebab tingginya ongkos yang harus disiapkan.
Nilai investasi yang dibutuhkan semakin besar lagi karena pembiayaan perubahan iklim dari sumber dalam negeri yang dinilai Wayan belum optimal.
“Rata-rata itu kami hitung butuh sekitar Rp 266 triliun per tahun sampai 2030,” katanya.
Adapun riset di BRIN yang berkontribusi dan relevan terhadap capaian NDC, menurut paparan Wayan, mencakup sektor kehutanan, energi dan limbah.
Riset sektor kehutanan untuk NDC adalah akselerasi pertumbuhan dan perlindungan tanaman untuk mendukung perannya sebagai penyerap emisi karbon.
Sedangkan riset sektor energi mencakup, antara lain, motor dan mobil listrik, serta pemanfaatan negeri alternatif, juga efisiensi pembangkit.
Untuk riset sektor limbah adalah pengurangan emisi metana sebelum ke tempat pembuangan akhir.
Dari seluruh riset tersebut, Wayan menambahkan catatannya, harus memiliki aplikabilitas tinggi, efisien dan efektif, bisa diterima sosial budaya masyarakat, “dan sesuai dengan kebijakan dan regulasi nasional.” Sementara, Direktur Eksekutif PATTIRO, Bejo Untung, menekankan untuk mendorong seluruh target dan kebijakan yang dibuat serta riset yang sudah dikembangkan menjadi inklusif.
“Bisa ditangkap di tingkat subnasional, di daerah-daerah, bahkan komunitas dan lingkup tapak, sehingga aksi-aksinya bisa lebih massif,” ujarnya.
Bejo juga mengajak kepada lembaga lain termasuk yang tergabung dalam Think Climate Indonesia Forum untuk mengawal janji atau target pembangunan rendah karbon dan pembangunan berketahanan iklim yang sudah dibuat pemerintah.
“Pastikan pembangunan rendah karbon itu jangan sampai sekadar jargon,” katanya.
Selain PATTIRO, yang lainnya dalam TCI Forum adalah Inobu, WRI Indonesia, Kemitraan dan KotaKita.
Mereka antara lain menggelar kolaborasi aksi iklim dengan proyek risetnya masing-masing.